Dunia semakin tua dan banyak qta liat kejadian aneh mengerikan.....
mari kita semua bertaubat selagi masih ada kesempatan....ayo kawan...!
seyga's blogger
Minggu, 13 Februari 2011
Jejak Perlawanan Aceh
“ Waallah, Billah..., Atjeh nanti akan saya beri hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai Syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu...??”
Kata-kata di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh. Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, Syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.
Tapi ternyata janji tinggal janji, Belum kering bibir Soekarno berjanji, Ia sendiri yang menghianati janjinya sendiri. Dan penerapan Syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara. Deraian Air Mata Bung Karno ternyata adalah titik awal mula penderitaan Rakyat Pemodal Kemerdekaan Bangsa ini.
Dialah Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil bernama Beureu’eh di Aceh Pidie. Nama dusun itulah yang kelak yang lebih dikenal sebagai namanya. la bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku, ia seorang rakyat biasanya saja. Gelar Teungku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh. Dialah sosok yang menjdi cikal bakal semua gerakan Kemederkaan Aceh.
Daud Beureu'eh (masa tua)
Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.
Sembilan tahun kemudian, bersama seorang sahabatnya, Daud Beureueh mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.
Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.
Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus merdeka,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti tertulis di atas, air susu dibalas air tuba.
Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda kasih pada Rl itu antara lain adalah saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.
Daud Beureu'eh
Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan Rakyat Aceh. Daud Beureueh yang menjadi gubernur pertama Aceh, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”
Puncaknya pada 21 September 1953, ia memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Rl, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakatinya tuntutan rakyat Aceh dan diberikannya otonomi untuk Aceh. Namun masa tenang itu tak berlangsung lama. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan pada anggota DI/TII terus berlanjut karena isu-isu rapat rahasia antara Daud Beureueh dengan Kartosoewiryo.
Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai Pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya teradap negara tapi malah dera derita untuk Aceh yang diterimanya…??
Langganan:
Komentar (Atom)